Akibat Viktimisasi Guru


Miris!, sebuah video sedang viral, mempertontonkan bagaimana situasi kelas di sebuah sekolah. Terlihat di belakang kelas, dengan logat NTB, beberapa siswa dengan seenaknya bergurau main HP, merokok, dan mondar-mandir. Mereka tak peduli dengan sang guru yang sedang menjelaskan pelajaran
Entah sudah berapa kali, video identik mengemuka, mempertontonkan keganjilan proses pembelajaran. Tak ada lagi tata krama antara relasi guru siswa. Guru seperti kehilangan marwah, sedangkan siswa seperti tak punya girah. Dan, pengabaian terhadap nilai-nilai proses pembelajaran adalah sumber kekerasan itu sendiri.
Kita tentu tak menginginkan kekerasan apapun terjadi di sekolah, baik terhadap siswa, guru atau karyawan. Namun, masyarakat justru lebih sering melihat dari posisi siswa sebagai korban. Padahal tidak sedikit kasus yang terjadi, bahwa guru justru telah banyak menelan pil pahit. Kata seorang kawan yang menjadi guru, “Mana tahan?”
Itulah viktimisasi guru. Tak banyak mata mampu melihatnya. Sehingga, guru menjadi gentar berikhtiar. Apa yang terjadi pada guru, tak pernah menjadi perhatian yang proporsional di ruang publik. Seakan tak terjadi apa-apa. Demikian ini yang disering disebut sebagai krisis senyap (silent crisis).
Cobalah bercermin pada aporan American Psychological Association (2016). Surveinya menunjukkan ada 80% viktimisasi guru setiap tahun pelajaran sekolah berlangsung. Ada banyak kerugian yang menimpa guru, mulai dari kehilangan upah, hari kerja (927.000 hari/tahun), mutasi, waktu mengajar, luka bahkan nyawa.  
Kita tak seharusnya cuma bisa mengutuk. Harus ada ide-ide solutif yang komprehensif. Sebuah masalah muncul pasti ada penyebabnya. Salah satunya, upaya penegakan disiplin oleh guru, malah sering berujung bui. Ingatlah bagaimana kasus guru di Sidoarjo yang berakhir di penjara 3 bulan, dan masih banyak lagi yang lainnya. Atau yang di Sampang, nyawa sang guru melayang.
Setidaknya, untuk mengatasi masalah ini, diperlukan hal berikut. Pertama, harus ada payung hukum yang jelas di daerah melalui perda dalam mengadvokasi pihak-pihak yang bermasalah di sekolah. Kedua, penegakan hukum yang adil terhadap setiap kasus kekerasan di sekolah. Ketiga, adanya konsensus dan kemitraan bersama antara sekolah, wali siswa, komite dan masyarakat dalam menyelesaikan masalah. Keempat, orientasi nilai pendidikan yang sistemik tentang sekolah ramah (anti kekerasan) oleh semua unsur sekolah.
Wallahu a’lamu bis-shawab.

Salam mendidik sepenuh hati!
Dr. Muhammad Thohir, S.Ag. M.Pd.
Dosen FTK UIN Sunan Ampel Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar