Kunci Guru Profesional Yang Terlupa


Lift lantai dua terbuka. Saya segera melangkah menuju ruang restoran untuk makan siang. Hari itu adalah jam istirahat dari jadwal pelatihan pengembangan kompetensi guru abad 21. Saat melahap menu, sayup-sayup terdengar para peserta masih membincangkan materi yang saya berikan. 

Setelah makan siang, ternyata ada seorang peserta yang mendekat menyapa saya ramah. Saya mempersilahkannya duduk.  

“Bapak dari UIN Sunan Ampel?” sahutnya.

“Ya, betul.”

“Pak, bagaimana sih untuk menjadi guru professional?’ Tanya dia sambil membetulkan duduknya.

 “Loh, bukankah bapak sudah menjadi guru, apa belum merasa professional?” Tanya saya kembali.

“Begini, saya ini jadi guru sudah 7 tahun. Pelatihan sudah sering. Saya sudah menerapkan berbagai strategi dan media di kelas. Tapi, rasanya… kok gak seperti masa kecil saya dulu ya?!” katanya.

“Masa kecilnya kenapa Pak?” sela saya karena penasaran.

“Itu loh… meladeni siswa zaman kini serba sulit.  Gak seperti zaman saya dulu. Dulu… guru-guru saya mengajarnya dengan cara apa adanya. Tetapi siswa-siswinya banyak yang nurut, banyak yang sukses… bahkan, perasaan saya, saat itu termasuk siswa yang nakal juga loh…ternyata sukses juga. Sekarang malah jadi guru negeri di sekolah favorit… hehe.. Kira-kira kenapa ya Pak. Apa yang kurang dari semua ini?”

“Oh ya, dulu… guru bapak itu mengajar di mana?”

“Di madrasah!” jawabnya tegas.

“Dulu membayar di madrasah berapa?”

“Hem… kaykanya gratis deh, terkadang jika panen, orang tua menitipkan sebagain hasil panen ke madrasah. Itu saja.”

“Noted!” kata saya.

“Kenapa Pak?” Tanya dia perlahan.

“Jadi guru itu harus ridha dengan profesinya. Ridha dengan siswanya. Apa pun kondisinya.”

“Maksudnya bagaimana Pak?” sahutnya lagi.

“Ya, ridha sebagai guru itu ya merasa bahwa guru sebagai pilihannya terbaik. Dia suka dan menikmatinya. Apa pun yang dia hadapi. Jika sudah merasa begitu, berarti dia ridha dengan profesi keguruannya.”

“Hemm… betul juga, sebagian guru saat ini, ada yang berpikir hanya karena kepepet. Hehe…”

“Sabar, ikhlas, selalu berpikir positif adalah indikatornya.”

“Gitu ya pak…”

“Itu yang pertama!”

“Loh ada lagi kah? Apa itu?” katanya.

“Apa yang paling banyak dilakukan guru terkait dengan profesinya?” Tanya saya.

“Ya banyak lah pak. Apalagi dengan kurikulum saat ini. Guru harus menyiapkan perangkat pembelajaran, membuat laporan, mengajar, rapat, bikin soal dan lain-lain…” jawabnya dengan mimik serius.

“Apa lagi?” Tanya saya lagi.

“Ya kegiatan kelompok guru, pelatihan, mentoring guru sejawat, program pelibatan kelas dengan kemsyarakatan dan industri sekitar…”

“Apa lagi…” Tanya saya.

“Hemm… apa ya…?” dahinya mengernyit seperti membayangkan sesuatu.

“Apa itu?” Tanya saya lagi.

“Anu pak… Menunggu gajian…” katanya polos.

“Wkkwkwwkwkw….!!!” tawa kami bersama meledak.

“Apakah ada lagi…” Tanya saya mengambung kembali.

“Sudah pak… kayak itu..” jawabnya pasrah.

“Nah, ada yang dilupakan oleh guru saat ini, dan itu justru banyak dilakukan oleh guru-guru kita dahulu.” Sahut saya.

“Hem… apa ya pak?”

“Doa… !”

“Loh…. Setiap awal pelajaran sudah berdoa bersama pak..”

“Beda! Ini doa sebagai pribadi bersyukur kepada Tuhan. Berdoa untuk kesuksesan siswa siswi kita. Berdoa untuk guru-guru yang telah mengajari kita. Seribu kata mudah diucapkan di depan siswa. Sekali lagi itu mudah. Tetapi, berdoa dengan tulus untuk mereka, di setiap ba’da shalat kita dengan istiqamah, maka itu ringan tetapi banyak yang berat melakukan. Bahkan malah ada yang melupakannya. Itulah yang dilakukan guru-guru kita dulu. Dan hasil dari kekuatan doa itu adalah seperti bapak sekarang.” kata saya sambil memohon diri untuk meninggalkan ruangan.

Dia pun menganguk pelan, dengan mata berkaca-kaca.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar