Pemimpin Pendusta

Sumber gambar: bordo.al
Bagaimana perasaan anda saat telah didustai? Gelisah dan kecewa?! Tentu saja!, bahkan mungkin juga marah. Hendak menarik kembali kepercayaan, mana mungkin karena masa telah berlalu. Sungguh kepercayaan itu tak begitu saja tiba. Di sana, ada sumpah dan janji-janji menarik hati. Lalu kepercayaan  hadir menumbuhkan harapan. Dan jika kemudian berbeda dengan kenyataan, maka harapan itu pun rontok dan menyisakan reranting duri penyesalan.

Begitulah gambaran siksaan batin orang-orang yang telah didustai. Jangankan bicara kembali dengan sang pendusta, melihat mukanya saja serasa tak sudi. Sehingga, mereka akan menjahuinya. Marilah kita intropeksi diri. Ingatlah sebuah hadits dengan riwayat muttafaq alaih, Nabi saw menyebut kita ini semuanya pemimpin. Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya. Jadi, entah itu kepemimpinan di level keluarga, masyarakat, kantor, organisasi, daerah atau bahkan negara.

Untuk itu, jangan dustai keluarga kita! Jangan dustai sahabat kita, pelanggan kita, tempat kerja kita, masyarakat kita! Jangan dustai bangsa dan negara ini! Kita telah seringkali dipertontonkan aksi pemimpin yang nyata-nyata mendustai amanah kepemimpinannya. Maka ingatlah sabda Nabi Muhamymad saw:

ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الشَّيْخُ الزَّانِي وَالْعَائِلُ الْمَزْهُوُّ وَالْإِمَامُ الْكَذَّابُ

Artinya: Tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat; Seorang yang sudah tua berzina, orang miskin namun sombong, dan pemimpin yang pendusta. (HR. Nasai)

Itulah balasan bagi para pemimpin pendusta. Allah swt juga memperingatkan dalam QS Ali Imran 77:

إِنَّ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيلًا أُولَٰئِكَ لَا خَلَاقَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih.

Jadi, tidak hanya azab fisik yang pedih, tapi Allah juga tak sudi melihat mukanya, berkata-kata kepadanya, dan juga tidak mensucikannya. Sebuah siksaan dahsyat, lahir batin. Sehingga Imam Nawawi rahimahullah menyebutnya sebagai terputusnya rahmat Allah. Na’udzu billah min dzalik.

Mengapa siksa Allah sangat pedih atas mereka? Mengapa Allah di akhirat tidak peduli dengan mereka? Karena dusta itu pintu mengalirnya perbuatan-perbuatan mungkar lainnya. Kezaliman, korupsi, kolusi dan nepotisme buta bermuara dari sana. 

Sekali seorang pempimpin berdusta, maka dia bagaikan telah membuka pintu Labirin Game. Dirinya akan berulang-ulang terjebak kembali dalam lorong-lorong dusta berikutnya. Dirinya akan semakin terjerat erat dengan manta rantai kebohongan. Dan hanya kejujuranlah yang memutuskannya.

Janganlah menjadi pribadi yang enjoy berdusta karena merasa banyak para pemimpin lain juga berdusta. Tidak perlu diri kita terbawa oleh propaganda negatif. All the President’s Lies!, semua presiden itu berdusta! Begitu headline tulisan David Leonhardt, journalist the New York Times, tahun 2017. 

Lalu, ada yang bertanya kepada saya, bagaimana jika para kandidat pemimpin itu dirasakkan oleh sebagai pendusta semua? Apakah kita tak usah memilih semua, alias menyingkirkannya? Untuk menjawabnya, mari kita ingat hadits Nabi saw:

شِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تَبْغُضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ، وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ. قالوا : يا رسول الله ! أفلا ننابذهم ؟ قال : لَا، مَا أَقَامُوا فِيْكُمُ الصَّلَاةَ

Artinya: Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah (orang) yang kalian membencinya dan mereka pun membenci kalian, kalian melaknatnya dan mereka pun melaknat kalian. Para sahabat bertanya : Wahai Rasulullah, tidakkah kita boleh menyingkirkannya ?. Beliau saw bersabda : Tidak! selama mereka mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. (HR. Muslim)

Dengan merujuk hadits di atas, asal para kandidat itu muslim dan shalat, maka tak boleh kita tinggalkan. Maka janganlah bersikap golput! Pilihlah dia, mana dari mereka yang paling jujur. Jika tidak nampak ada yang jujur, sebagai hal yang dharuri, maka pilihlah mana dari mereka yang paling sedikit dustanya.

Karena itu, marilah kita semua kembali kepada Sang Suri Teladan, Nabi Muhammad saw. Dialah Al-Amin (orang terpercaya). Julukan yang disematkan sebelum kenabiannya oleh semua lapisan masyarakat. Dan dialah Nabi dengan keluhuran karakter kepemimpinan, yaitu STAF, Shiddiq (jujur), Tabligh (aspiratif), Amanah (dipercaya), dan Fathanah (pintar). 

Selanjutnya, adakah dusta yang dibolehkan? Sungguh! semua dusta itu dilarang dan terkutuk. Itulah hukum dasar (ushul) dalam Islam. Nabi saw hanya membolehkannya dalam tiga perkara, sesuai hadits berikut.

قال ابن شهاب: ولم أسمع يرخَّص في شيء مما يقول الناس كذبٌ إلا في ثلاث: الحرب، والإصلاح بين الناس، وحديث الرجل امرأته وحديث المرأة زوجها

Artinya: Ibnu Syihab berkata: “Saya tidak pernah mendengar ucapan dusta yang diucapkan oleh manusia diperbolehkan, kecuali dalam tiga keadaan: (siasat) perang, mendamaikan antara manusia, dan ucapan seorang lelaki terhadap istrinya atau ucapan seorang wanita terhadap suaminya (HR. Muslim)

Pertama, dusta demi siasat peperangan. Sebab, Nabi saw menyebut peperangan itu adalah tipu daya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Pemimpin boleh menutupi rasa takut dan gentar dirinya terhadap musuh. Karena jika dia jujur, hal itu malah akan menjatuhkan mental pasukan sendiri dan menyemangati pasukan musuh. Dusta dalam peperangan tak lain karena tujuan perlindungan terhadap nyawa dan keselamatan.

Kedua, dusta demi perdamaian. Demi menjaga sebuah kemaslahatan, ketenangan dan perdamaian, kita boleh menutup-nutupi perihal sebenarnya. Sebab, jika mengabarkan kejelekan kedua belah pihak, maka dikhawatirkan malah terjadi kerusakan dan permusuhan. Nabi Muhammad menyebutkan, bukanlah pendusta orang yang melakukan perdamaian antara manusia lalu dia menggalakkan kebaikan atau mengucapkan kebaikan. (HR Bukhari dan Muslim)

Ketiga, dusta demi menjaga keharmonisan suami isteri. Misalnya, Suami memuji masakan isteri yang sebenarnya tidak enak. Tidak jujur dalam hal ini dilakukan demi menjaga perasaan  sang isteri. Atau, isteri memuji penampilan dan usaha suami demi menghargai sang suami. Namun, dusta di sini tidak boleh untuk tujuan hal-hal yang haram dan perselingkuhan. Bahkan, demi tujuan poligami yang halal sekalipun, suami harus melalui kejujuran. Sebab, jika diawali dengan dusta, maka dari sanalah jalan ketidakadilan itu terjadi. Jika tak mampu bersikap adil, maka cukuplah satu (QS. An-Nisa: 3)

Ingatlah, siapapun yang memimpin dengan penuh kasih sayang, maka Allah akan selalu menyayanginya. Dan barang siapa memimpin dengan hanya menjadi kesusahan bagi yang dipimpin, maka Allah akan membalasnya dengan jalan kesusahan pula. Sebagai doa Nabi Muhammad saw: 

اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ هَذِهِ أُمَّتِي شَيْئاً فَرَفَقَ بِهِمْ، فَارْفُقْ بِهِ وَمَنْ شَقَّ عَلَيْهَا فَاشْفُقْ عَلَيْهِ. رواه مسلم.

Artinya: Ya Allah, siapa saja yang mengurus urusan umatku ini, yang kemudian ia menyayangi mereka, maka sayangilah ia. Dan siapa saja yang menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia” (HR Muslim)

Jika Nabi yang mendoakan, lalu apakah kita masih berpaling? Maka berhati-hatilah, karena itu pasti terjadi. Wallahu a’lamu bis-sahawab.

Oleh:
Dr. Muhammad Thohir, S.Ag. M.Pd.
Wk. Sekretaris PW JQH NU Jatim
Disampaikan dalam Khutbah Jumat, 9 Maret 2018, di Masjid Diponegoro Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar